Amir Sjarifuddin Antara Negara dan Revolusi Bab II
II
MASA hidup Amir Sjarifuddin terentang sepanjang paruh pertama abad ke-20. Usia itu habis diserap oleh penemuan dan kegagalan harapan-harapan besar dari jamannya, seperti yang terungkap dalam kata-kata "kemerdekaan nasional", "kedaulatan rakyat", dan "sosialisme". Seperti juga di mana-mana, di Indonesia pun, bagi barang siapa yang ambil bagian di dalamnya, semua kata-kata itu dipadatkan dalam sepatah kata saja: "revolusi".
Amir, seperti beberapa pemuda Indonesia lain yang seangkatan dan sepergaulan dengannya, disadarkan tentang arti kata "revolusi" dan janji-janjinya, pertama-tama melalui apa yang dipelajarinya dari guru-guru Belanda mereka tentang Revolusi Prancis, ketika masih belajar di sekolah menengah dan sekolah tinggi hukum. Memang lebih banyak kepada Revolusi Prancis inilah, dan bukan revolusi-revolusi Amerika atau Rusia, ia selalu memalingkan pandangannya.
Bagi Amir "Prinsip Harapan" (meminjam kata-kata kunci Ernst Bloch) untuk Indonesia pertama-tama memperoleh bentuknya pada manifestasi tiga gabungannya: "satu nusa, satu bangsa, satu bahasa". Rangkaian konsep-konsep ini didasarkan pada gagasan akademis Belanda tentang Taal-, Land- en Volkerakunde sebagai keseluruhan, dan diambil oleh para mahasiswa yang menamakan diri sebagai bangsa Indonesia, serta mengubahnya menjadi tuntutan Yakobin dalam tahun 1928. Tetapi "Prinsip Harapan" itu juga berfungsi lain. Sebagai sarana memasuki Indonesia yang baru saja dirumuskan, yang sepertinya sudah ada, bisa dimengerti dan diterima oleh semua, prinsip ini juga membentuk suatu labirin yang kabur dan goyah walaupun telah diberi contoh-contoh untuk meneranginya.
Sepanjang duapuluh tahun, 1928-1948, Amir telah membaktikan separuh umurnya kepada politik. Dan untuk itu ia pun harus menempuh sepanjang labirin, untuk menemukan jalan ke luar daripadanya. Namun tidak jarang harus menemui jalan buntu.
Bagi Amir labirin itu berbentuk permainan enam orang tokoh, yang satu sama lain saling berhadapan dalam pasang-pasangan yang selalu berubah-ubah. Ada pemain-pemain utama, yaitu Sukarno dan Hatta sebagai pimpinan golongan "partai nasional" (inilah yang dimaksud sebagai "Prinsip Harapan"), yang tertambat pada perjuangan tak terdamaikan untuk menguasai kendali. Sifat permusuhan persekutuan itu mengabadikan mereka dengan sebutan "dwitunggal", sebagai suatu monumen sejarah yang tak bisa diganggu-gugat, simbol persatuan Indonesia yang tak terpisahkan, sejak mereka bersama menandatangani naskah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945.
Selanjutnya ada persekutuan-persekutuan yang masing-masing tersusun dengan pemain-pemain mudanya, yaitu Hatta dengan Sjahrir; dan, walaupun dengan cara yang kurang jelas benar, Sukarno dengan Amir. Ada lagi pasangan antara dua sesama pemain muda saja, yaitu Amir dan Sjahrir. Mereka ini hanya dihubungkan sebagai pasangan untuk para pemain utama, ketika empat pemimpin itu—ibarat empat pilar penyangga dunia—tampil sebagai lambang negara Indonesia antara November 1945 sampai Juni 1947. Tetapi terjadi juga formasi berbalikan: pemain muda yang kuat berpasangan dengan pemain tua yang lemah, yaitu Sjahrir sebagai perdana menteri dan Hatta sebagai wakil presiden. Dalam hal ini Amir sebenarnya sudah menjadi semacam 'kartu mati'. Hatta dan Sjahrir praktis tak terpisahkan lagi sejak mereka pertama kali bertemu, dan mereka pun pernah tinggal bersama selama di pengasingan dari tahun 1934 sampai 1942. Tetapi Amir, bintang Partindo (Partai Indonesia) yang tengah marak itu, dijebloskan ke penjara ketika Sukarno, pimpinan partainya, dibuang ke pulau pengasingan seperti halnya juga Hatta dan Sjahrir. Terpisah dengannya sejak tahun 1933, Amir baru bertemu kembali dalam tahun 1942, dan itu pun hanya selama beberapa minggu. Jika pasangan dua tokoh muda Amir-Sjahrir ini selama bulan-bulan terakhir tahun 1945 oleh sementara sejarawan ditonjolkan, namun tidak dengan kata-kata yang digunakan pasangan tokoh-tokoh yang tua: kata-kata rujukan pada sosialisme menggantikan nasionalisme (inilah salah satu cara bicara tentang arti Perang Dunia II dari sudut sang pemenang), walaupun tetap di dalam acuan yang ditempa para tokoh tua itu. Partai Rakyat Sosialis yang diumumkan berdirinya oleh Sjahrir dalam bulan November 1945 itu (walaupan hanya hidup di atas kertas, tetapi ini masalah lain lagi), dapat disepadankan dengan Nationale Volkspartij (Partai Rakyat Nasional) bentukan Hatta di Negeri Belanda lima belas tahun sebelumnya, sesudah Partai Nasional Indonesia didirikan Sukarno di Indonesia. Dari Sukarno ke Amir dan Partai Sosialis Indonesia, urutan hubungannya pun sama: "sosialisme" menggantikan "nasionalisme". Kata "revolusioner" yang, dalam rapat-rapat pendahuluan bulan Oktober 1945, disarankan agar dicantumkan pada nama partai sosialis (partai masa depan dari generasi akan datang), ternyata tidak tercantum. Walaupun hal ini tidak disebabkan oleh ketakutan terhadap akibat yang bisa timbul dari sepatah kata itu.
Lalu ada pula pasangan Kanan-Kiri, yang biasa dipakai untuk mengenali kandungan gerakan kebangsaan, untuk pengganti pasangan Kolot-Modern. Ini justru timbul dalam tahun-tahun 1936-1940, ketika Amir telah bebas dari penjara dalam bulan Juni 1935, dan dipandang sebagai sisa hidup dan saksi dari jaman kepahlawanan. Strategi heroisme, yaitu strategi yang dinamakan "nonkoperasi" dengan pemerintah kolonial, telah mengalami kegagalan. Oposisi radikal terhadap pemerintah menjadi lumpuh, oleh karenanya terlalu lemah untuk berhadapan dengan represi yang keras. Dalam debat tentang strategi jangka panjang untuk mengusir Belanda (karena "kaum loyalis" juga menginginkan kekuasaan), masalah nonkoperasi dan koperasi lalu tersisih (menurut istilah saat itu koperasi ialah "loyalitas"). Masalah beralih pada usaha mencari cara-cara aksi yang lain, sehingga karenanya cita-cita sosial dari aksi-aksi politik menjadi jelas, dan bentuk-bentuk identifikasi baru pun ditemukan. Golongan yang menempuh jalan nonkoperasi menamakan diri mereka sebagai "Kiri", dan menyebut golongan "loyalis" sebagai "Kanan". Kaum Kiri baru ini diidentifikasi pada pribadi Amir, dan berdasar ini juga tahun-tahun 1936-1940 merupakan "tahun-tahun Amir". Tetapi juga kaum Kanan mempunyai tokoh simbolnya, yang baik oleh para pejabat Belanda maupun sementara tokoh Kiri sebagai lawan berdebat, yaitu Thamrin. Pada akhir tahun '30-an gerakan anti-kolonialisme yang luas beraneka macam, seperti yang pada tahun 1939 tergabung dalam GAPI atau Gabungan Partai-Partai Politik Indonesia itu, mempunyai dua kepala: Amir dan Thamrin. Ini sungguh keterlaluan. Ternyata kedua-duanya memang digeser, masing-masing ditarik oleh partainya dari sekretariat GAPI. Namun sebenarnya ini hanya suatu krisis baru dalam gerakan, yang diakibatkan oleh invasi Jerman atas Negeri Belanda. Krisis ini berakibat tragis. Oleh alasan-alasan yang sama sekah tidak jelas, Amir menarik diri atau minggir dari percaturan. Langkah ini dilakukannya sesudah terjadi polemik yang panjang dan ramai dengan Thamrin, yang berlangsung melalui seorang wartawan (yaitu Tabrani, pemimpin redaksi Pemandangan, yang ingin membuat perhitungan pribadi dengan Thamrin). Thamrin, yang dicurigai melakukan hubungan gelap dengan Jepang itu, dalam bulan Januari 1941 meninggal oleh serangan jantung pada umur 47 tahun, yaitu sesudah rumahnya digerebek dan digeledah oleh polisi Belanda.
Kemudian ada tokoh keenam, yaitu Musso. Beberapa bulan sesudah disingkirkan Sukarno, Amir diberi tanggungjawab (atau, tergantung bagaimana orang melihatnya, dibiarkan mengambil tanggungjawab sendiri), untuk atas nama Indonesia menandatangani perundingan gencatan senjata Renville yang sangat buruk itu. Ini terjadi bulan Januari 1948. Beberapa bulan sesudah itu Amir menyatakan dirinya sebagai anggota Partai Komunis Indonesia, yang menurut sejarah resmi partai ini telah "dibangun kembali" oleh Musso dalam tahun 1935.
Dalam bulan Agustus 1948, setelah bertahun-tahun dalam pengasingannya di Moskow, Musso kembali ke Indonesia. Segera sesudah tiba ia berusaha menempatkan dirinya sebagai pengasuh citarasa politik bangsa Indonesia. Dengan demikian pernyataan keanggotaan Amir pada Partai Komunis yang retroaktif, pada periode kritis pencarian strategi yang menjelaskan tentang sambutan terhadap kedatangan Musso saat itu, juga harus diartikan bahwa yang disebut "tahun-tahun Amir" sebenarnya adalah "tahun-tahun Musso". Artinya, bahwa sejak 1935 Amir tidak lagi sebagai anak-buah Sukarno, melainkan anak-buah Musso. Tetapi justru Hatta yang melempar ide pasangan Musso-Amir ke tengah gelanggang, sebagai alternatif pasangan Sukarno-Hatta. Yaitu pada tanggal 20 September 1948, ketika ia mengumumkan pernyataan seperti yang diucapkan Sukarno sehari sebelumnya, bahwa sebuah republik soviet baru saja diproklamasikan di Madiun. "Malahan kabarnya, saya tidak tahu benar dan tidaknya, bahwa Musso akan menjadi presiden republik serobotannya ini, dan Amir menjadi perdana menterinya."1) Sukarno mengecam kup golongan Musso itu, tetapi tanpa menyebut-nyebut nama Amir. Secara fungsional memang Musso yang sama dengannya. Sedangkan Amir adalah masalah Hatta. Dan bukankah Hatta juga yang telah mengambil alih dua jabatan Amir, sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan?
Empat tokoh yang memimpin negara Indonesia selama bulan-bulan pertama, yaitu Sukarno-Hatta-Sjahrir-Amir, menurut urutan kehormatan institusional, naik-turun kursi perdana menteri beriring-iringan seperti angka-angka sebuah arloji otomatis. Satu demi satu mereka turun, angka-angka masing pun berkurang. Akhirnya formasi segi-empat itu hancur, dengan Sukarno dan Hatta saja tersisa. Angkatan muda lenyap. Dan bersama itu, untuk jangka waktu yang lama, juga impian mereka tentang sosialisme, serta harapan mereka tentang kehidupan politik Indonesia sebagai bagian dari sejarah dunia Kiri.
Generasi muda tampil bersama-sama mengecam kekuasaan berlebihan, yang diberi oleh Undang Undang Dasar 18 Agustus 1945 pada presiden Republik, yang sekaligus juga perdana menteri. Tentu saja pendirian itu mendapat tumpuannya yang kuat pada Wakil Presiden. Maka sudah dalam bulan November 1945, pemerintah Sukarno diganti pemerintah yang dipimpin Sjahrir. Mungkin sekali justru hubungannya dengan wakil presiden inilah yang telah memudahkan pengangkatan baginya. Sejak itu dewan menteri bertanggung jawab kepada suatu majelis yang diangkat dari wakil-wakil berbagai organisasi, dan yang sifat perwakilannya tidak diketahui. Orang hanya mengharap bahwa kelak, pada suatu ketika, majelis ini dapat diganti suatu badan perwakilan rakyat hasil pemilihan umum.
Amir yang mengganti Sjahrir memimpin pemerintahan selama enam bulan hanyalah merupakan suatu parentesis. Sekalipun masa enam bulan ini merupakan bulan-bulan perang dan perundingan gencatan senjata. Situasinya eksplosif, dan terasa sedang mencari-cari kambing hitam. Seketika Amir telah dikorbankan, demi dirinya Hatta merestorasi sistem presidentil (yang dahulu ia sendiri membantu menghapusnya itu), dengan dukungan mereka yang selalu melawan pemerintah apa pun sejak November 1945. Dialah pemenang besar dalam permainan ini. Dan seperti Sukarno yang telah meninggalkan Amir, Hatta pun dapat berjalan sendiri tanpa Sjahrir, yang memang tidak lagi tampil di dalam pemerintahan.
Dari Empat Serangkai itu Amir yang paling lemah. Satu-satunya kekuatan padanya hanyalah karena ia pernah dipenjara dan dijatuhi hukuman mati oleh Jepang. Kecuali itu sebagai menteri ia bisa dipakai sebagai jaminan pemerintah (tetapi yang sekaligus menimbulkan rasa tidak enak), yang risau ingin memperlihatkan kedekatannya pada Sekutu yang pada 29 September 1945 telah mendarat. Amir ialah jaminan, bahwa kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 bukanlah tanda-mata perpisahan dari Jepang. Secara eksplisit Amir tidak pernah mengatakan, bahwa nyawanya telah disambung berkat campur-tangan Sukarno atau Sukarno dan Hatta, sebagai pemimpin-pemimpin pemerintah Indonesia saat di bawah Jepang itu. Tetapi ketika masalah ini diangkat oleh pers, ia juga tidak membantahnya. Dengan demikian Amir telah ikut membantu menyebar citra Sukarno dan Hatta sebagai pelindung-pelindung gerakan bawah tanah, yang untuk saat itu diperlukan dan bahkan sangat penting. Namun demikian, walaupun sementara itu Amir sudah diangkat sebagai menteri, ia baru dibebaskan dari penjara pada tanggal 1 Oktober, enam minggu sesudah proklamasi kemerdekaan; karena Sekutu sudah mendarat, maka menjadi sangat penting tokoh Amir ditampilkan. Hal ini menimbulkan beberapa tanda tanya: sejauh mana sesungguhnya pengetahuan Sukarno dan Hatta tentang nasib Amir selama masa pendudukan Jepang; dan selanjutnya juga tentang kapasitas mereka mengintervensi penguasa Jepang di dalam masalah ini. Selain itu, sekali percaturan politik telah beralih dari masalah perlawanan terhadap Jepang, dan kisah tentang gerakan bawah tanah itu pun sudah tidak terlalu diperlukan lagi, maka tanpa malu-malu Sjahrir berbicara sarkastis tentang kegiatan anti-Jepang Amir (misalnya jika kita baca bagian terakhir Out of Exile). Lebih dari itu Sjahrir bahkan melukiskan Amir tidak lebih sebagai seorang kacung Belanda belaka. Jelas, juga Sjahrir pribadi mempunyai citra "pejuang bawah tanah" yang hendak dibelanya. Karena masing-masing orang angkatan tua harus mempunyai "tokoh pejuang"-nya sendiri-sendiri, jika Amir untuk Sukarno, maka Sjahrir untuk Hatta. Tetapi karena citra "pahlawan" pada dirinya itu agak kabur, tentu saja Sjahrir hanya akan berhasil membelanya dengan jalan mendiskreditkan citra tokoh-tokoh lain yang lebih jelas gambarannya.