Amir Sjarifuddin Antara Negara dan Revolusi Bab IV
IV
PERISTIWA Madiun yang membersihkan FDR (Front Demokrasi Rakyat) pada akhir 1948, dan Peristiwa 3 Juli 1946 yang memusnahkan Persatuan Perjuangan, bagaimanapun juga terjadi menurut pola yang sama. Seperti dikatakan, jika sejarah berulang maka cenderung menjadi dagelan. Tetapi dalam hal ini bukan menjadi dagelan, melainkan suatu malapetaka dengan ribuan korban yang luasnya sama sekali berbeda. Pemerintahan tandingan yang buru-buru disusun di Madiun, barangkali bisa dipandang juga sebagai salah satu "Komune" dalam sejarah revolusi-revolusi abad ke-20, yang sedikit-banyak mengingatkan kita pada Komune Paris tahun 1871. Dalam banyak hal Hatta mengingatkan kita pada Thiers. Perebutan meriam-meriam Garda Nasional di Paris tahun 1871, di bawah tatapan rasa puas orang-orang Prusia, serupa dengan dilucutinya pasukan rakyat Pesindo tahun 1948, demi ketenteraman hati Amerika. Tetapi semuanya itu hanyalah sekedar analogi-analogi.
"Peristiwa" tahun 1946 seperti halnya "peristiwa" tahun 1948. Yaitu terjadi sebagai akibat pemerintah menolak mentoleransi terhadap setiap oposisi, yang berusaha berbicara kepada rakyat secara langsung. Kaum oposisi lalu bertindak menurut kepentingan sendiri, dan bukannya berunding dalam ruang tertutup bersama pemerintah. Pada setiap kesempatan pemerintah menegaskan, bahwa pengakuan internasional terhadap Indonesia merupakan pertaruhan. Artinya, pengakuan itu hanya akan diperoleh jika pemerintah dapat membuktikan adanya dukungan luas, yang berupa kemampuannya menguasai situasi di dalam negeri. Dalam pada itu perlu dikemukakan bahwa pemilihan umum, sebagai bukti keabsahan yang diterima Konstitusi satu-satunya, hanya dapat berlangsung dalam suasana dalam negeri yang damai dan aman. Belanda selalu berbicara tentang "rust en orde". Itulah alasan tetap suatu "pemerintah yang kuat", yang saling diperolok-olokkan oleh kedua belah pihak. Pemerintah mengatakan posisinya dibikin lemah oleh cara-cara oposisi, dan oposisi mengatakan bahwa politik pemerintah yang mencontoh Belanda itu suatu pertanda kelemahan. Pemerintah mengatakan konsolidasi kekuasaan, sedangkan oposisi mengatakan mempercepat jalannya Revolusi. Akibatnya ialah konfrontasi.
Dalam bulan Maret 1946 Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin dan Menteri Dalam Negeri Sudarsono, kedua-duanya tokoh penting Partai Sosialis, menemukan alasan bersama bahwa ide "masa genting" untuk memungkinkan penahanan Tan Malaka itu sama sekali tidak sah. Tan Malaka, kalau bukan pemimpin Persatuan Perjuangan yang sebenarnya setidak-tidaknya secara intelektual, adalah tokoh penentang politik berunding dengan Belanda. Walaupun merupakan suatu masalah penting namun barangkali tidak pernah diketahui, mengapa pada 19 September 1948 Sukarno memutuskan untuk mengubah kejadian-kejadian yang terjadi di Madiun tersebut menjadi suatu perang saudara, yaitu dengan menyatakannya sebagai proklamasi berdirinya sebuah Republik Soviet di sana. Padahal proklamasi seperti itu tidak seorang pun pernah mendengarnya, begitu juga tidak seorang pun berminat membuktikan kebenaran kabar yang diucapkannya itu.
Terlebih-lebih lagi, dalam dua kejadian tersebut, pemerintah pun telah memutuskan untuk menampakkan kemampuannya menguasai keadaan. Oleh karena kejadian-kejadian ini berlangsung di bawah pengawasan pengamat-pengamat yang sangat kuat, yang dukungan mereka sangat diperlukan, yaitu Inggris untuk kejadian tahun 1946 dan Amerika untuk kejadian tahun 1948. Bahwa drama kecil tahun 1946 itu telah menjadi drama besar tahun 1948, barangkali bisa diterangkan dengan perbedaan besarnya taruhan untuk dua kejadian itu masing-masing.
Perpindahan alat-alat pemerintah yang penting ke Yogyakarta pada tahun 1946, sementara Sjahrir tetap berada di Jakarta, menyebabkan peranan Amir sebagai Menteri Pertahanan menjadi lebih menonjol, dan praktis menjadi tokoh kedua pemerintah secara tidak resmi. Oleh karenanya dialah juga dan bukan Perdana Menteri, Menteri Dalam Negeri atau Menteri Kehakiman, yang dipandang sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap penahanan Tan Malaka dan kawan-kawannya. Maka ketika ia harus mundur dalam tahun 1948, orang-orang yang telah meragukannya itu pun, segera melihat datangnya saat pembalasan.
Persaingan antara pemerintah dengan Persatuan Perjuangan (yang semula juga disebut sebagai "Volksfront", suatu referensi sejarah yang diikuti juga oleh kaum sosialis) tidak banyak bersumber pada analisis yang bertentangan (menurut wacana Persatuan Perjuangan, dengan meminjam kata-kata Lenin, tidak ada "analisis kongkret tentang situasi kongkret"), melainkan lebih banyak pada rumusan-rumusan yang berbeda mengenai revolusi, demokrasi, negara, dan Indonesia. Sehingga pemerintah, seperti yang pernah diperbuat Hatta tahun 1945 sesudah terjadinya berbagai peristiwa, tergerak untuk menjawab slogan-slogan mereka: revolusi bukanlah sekedar konflik bersenjata, demokrasi bukanlah pembagian kekuasaan terus-menerus. Berbicara tentang perjuangan diplomasi Amir, dalam bulan November 1945 mengatakan, bahwa Indonesia harus menempuhnya jika ingin kemerdekaannya diakui pihak Belanda. Bagi para pendukung "perjuangan" kesempatan menjadi terbuka untuk membantah kata-kata yang diucapkan Amir tersebut. Walaupun merupakan kata-kata biasa di dalam bahasa militan saat itu, bagi lalu digunakan untuk mempertentangkan kata "perjuangan", menurut artinya yang positif, dengan kata "diplomasi", menurut artinya yang negatif. Dengan demikian kata "perjuangan" lalu mendapat arti absolut, yang dengan cara apa pun tidak dapat dirinci-rinci.
Dalam gayanya sendiri represi juga merupakan persoalan semantik, oleh karena pasal 28 Undang Undang Dasar berbicara tentang kemerdekaan berserikat, kemerdekaan berkumpul, dan kemerdekaan mengeluarkan pikiran. Benar bahwa komunike Jaksa Agung Kasman Singodimedjo 16 Januari 1946 telah memberikan penjelasannya tentang macam-macam kemerdekaan itu. Komunike itu memperingatkan para pembacanya, dalam melaksanakan kemerdekaan tersebut, tidak mengabaikan akibat- akibat yang terkandung di dalamnya. Di atas segala-galanya keamanan dan ketertiban itulah yang harus diutamakan.
Amir yang, sesuai dengan wewenangnya, dalam bulan April 1946 dibebani tugas sulit untuk meredakan ketegangan yang memuncak di Sumatra, tentang penahanan-penahanan yang terjadi di Jawa dalam bulan sebelumnya menerangkan di Medan sebagai berikut. "Marilah kita jadikan sebagai semboyan bersama: Bagaimanapun pemerintah itu, selama masih pemerintah kita, harus kita taati dan kita dukung seratus persen". Kata-kata ini diucapkan seorang Amir yang sama, yang dua bulan kemudian mengucapkan pidatonya di depan para utusan Kongres Pemuda ke-2 di Yogyakarta. Di situ ia menyerukan agar para pemuda meneruskan revolusi yang telah mereka mulai, dan tidak membiarkannya jatuh ke tangan para calo-calo politik dan koruptor yang berjiwa dari jaman lain. Pemerintah memerlukan semangat para pemuda... Salah satu resolusi Kongres dirumuskan berdasarkan kata-kata tersebut: "Tugas para pemuda ialah memperbarui semua kekuatan, agar mereka dapat bertindak sesuai dengan tuntutan Revolusi. Dalam masa sekarang ini sikap yang korektif-konstruktif merupakan sikap yang paling sesuai dengan semangat pemuda. Korektif berarti berani mengubah segala sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan. Konstruktif oleh karena kita perlu membangun dan menempatkan kekuatan-kekuatan yang menegakkan dan mempertahankan Negara".
Yang sukar ialah bagaimana menemukan cara yang bisa mempertemukan antara Negara dan Revolusi, antara stabilitas dan perubahan, dan antara yang lama dan yang baru. Ide tentang "sikap korektif-konstruktif" agaknya dirumuskan untuk menentang sikap kaum oposisi yang destruktif. Masalahnya ialah, bahwa dengan mengirim pasukan untuk melawan "PKI-Musso" dalam bulan September 1948, seperti dikatakannya sendiri, Sukarno menggunakan kata-kata "tindakan korektif" melawan kaum pengacau yang mengancam ketertiban umum dan keamanan nasional. Sementara itu mereka yang dikecamnya, antara lain termasuk Amir dan Suripno, membela diri dengan mengatakan justru mereka telah melakukan "tindakan korektif demi menyelamatkan kemerdekaan tanah air. "Koreksi" itu tidak secara "konstruktif". Sistem dan kritiknya satu sama lain saling berlawanan.
Justru di Kementerian Pertahananlah, dalam usaha menyusun tentara rakyat nasional, Amir jelas dapat menilai lebih baik betapa sulitnya mengintegrasikan Revolusi dengan aparatur Negara. la memang dalam posisi untuk menarik pengalaman Revolusi Prancis, ketika suatu "amalgam" antara antusiasme pemuda dengan kemampuan militer dari bekas anggota pasukan kerajaan melebur dalam "levée en masse". Model Tentara Merah yang tidak dikenal umum, pun Amir telah mengenalnya. Tetapi ia hampir tidak mempunyai kesempatan untuk menggunakannya. Ketika pada 14 November 1945 ia ditunjuk memangku jabatan Menteri Pertahanan, sebagai entitas administratif kementerian ini sebenarnya tidak ada. Lagi pula pada 11 November 1945 di Yogya diselenggarakan konperensi, yaitu di markas besar barisan kelasykaran, untuk memilih panglima tertinggi dan juga menteri pertahanan. (Pasukan Sukarela yang terdiri dari berbagai pasukan yang bergabung bersama-sama, di tengah suasana vakum kekuasaan itu, dan menyatakan diri sebagai tentara pemerintah). Sebagai menteri pertahanan terpilih saat itu ialah Sultan Yogya, yang berperanan selaku pelindung konperensi tersebut. Amir yang baru diangkat tiga hari sesudah itu tentu saja berada dalam kedudukan yang sulit. Bagaimanapun golongan tentara pastilah tidak pernah menerima, jika mereka tidak diberi hak untuk memilih menteri pertahanan mereka sendiri.
Bagi Amir tentara adalah batu-alang utama. Inilah juga penyebab kekalahannya secara politik dan militer dalam bulan Juli 1947. Bahkan sesudah kementeriannya pindah ke Yogyakarta pun, bulan Januari 1946, hubungannya dengan markas besar angkatan perang tetap sulit. Tiba-tiba golongan tentara menghadapi masalah dalam gabungannya dengan lasykar-lasykar lain, yang telah tumbuh di dalam keadaan yang berbeda dan tidak mau ikut serta bersikap memusuhi Kementerian Pertahanan. Pembentukan badan koordinasi kelasykaran, Biro Perjuangan, di bawah kementerian pertahanan dan bukannya markas besar angkatan perang, ditanggapi oleh golongan tentara sebagai usaha Menteri Pertahanan untuk membangun pasukan pribadinya. Ide "tentara masyarakat" yang merupakan ide sentral bagi politik militer, dan yang di dalam sejarah Prancis dilambangkan melalui pertempuran di Valmy, tidak pernah bisa berkembang menjadi semangat korps di kalangan tentara Indonesia. Bersamaan dengan perjalanan waktu justru ide "dwifungsi" yang telah meresapinya, dan mengangkatnya menjadi golongan "supra-masyarakat". Segala daya-upaya Kementerian Pertahanan untuk memberi jiwa politik pada tentara, menanamkan ide "kemasyarakatan", membuang paham korporatisme, patronase, faksionalisme dan, meminjam kata-kata Jenderal A.H. Nasution sendiri, segala macam "vertikalisme" memang telah selalu dirintangi oleh markas besar angkatan perang. Terbentuknya Staf Pendidikan Tentara di dalam Kementerian Pertahanan dalam bulan Januari 1946, dengan hebat telah diboikot oleh berbagai kesatuan tentara. Alasan pemboikotan mereka ialah bahwa pemerintah, dalam hal ini menteri yang bersangkutan atau pihaknya, hendak berusaha mengindoktrinasi tentara, dan mengganti fungsi perwira tentara dengan komisaris politik.
Sejak pengangkatan Sjahrir, tuntutan Partai Masyumi yang tak kunjung henti untuk posisi puncak dalam kekuasaan dan disingkirkannya Amir, berkat bantuan Hatta akhirnya berhasil. Ketika semuanya itu telah terjadi, angkatan muda di dalam partai ini pun beramai-ramai di depan kantor-kantor pemerintah menyerukan yel yel "Allahu Akbar, Kabinet Amir bubar". Dan sulit bagi Amir untuk menempatkan dirinya dalam oposisi. Sejak pemerintah republik yang pertama terbentuk, ia terus-menerus menjadi menteri. Lebih dari itu dialah juga yang, dalam saat-saat sulit, telah selalu menegaskan tentang perlunya menyatukan kekuatan di belakang pemerintah. Pada waktu Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) yang selalu mempunyai hubungan istimewa dengan Amir, mengorganisasi demonstrasi besar-besaran menentang penyingkiran Amir dari kedudukannya itu, ia justru membantu Hatta untuk melicinkan jalannya saat peralihan. Bersama Hatta ia pergi ke Sumatra selama beberapa hari. Di depan rapat pertama FDR (Front Demokrasi Rakyat) di Solo tanggal 26 Februari 1948, Amir mengritik pemerintah baru lebih banyak dari wataknya yang otoriter ketimbang dari program politiknya. Satu bulan kemudian, ketika harus memberi kesaksian di depan pengadilan terhadap para pengatur "komplotan" 3 Juli 1946, Amir tetap mempertahankan pendiriannya seperti yang telah dikemukakan pada saat peristiwa itu terjadi. Namun secara pribadi tanpa bimbang ia mengatakan, bahwa masalahnya berkenaan dengan pemberian jaminan kepada pihak Inggris, yang ketika itu bertindak sebagai juru damai antara pihak Indonesia dan Belanda. Janganlah kepada Inggris diberi kesempatan untuk memenangkan pihak Belanda, dengan berdasar pada dalih "bahaya kaum ekstremis". Dengan kata-kata lain, sedikit banyak merupakan ulangan dari peristiwa bentrokan bersenjata di Surabaya, yang terjadi dalam bulan-bulan Oktober dan November 1945.
Perubahan pendirian 180 derajat yang dialami Amir itu berkaitan dengan suasana ketegangan Timur-Barat yang memburuk, dan perkembangan peranan diplomasi Amerika di Indonesia. Barangkali memburuknya hubungan Timur-Barat tersebut juga merupakan sebab-musabab jatuhnya pemerintah Amir, yang di dalamnya terdapat unsur-unsur partai komunis itu. Sejak bulan Oktober 1947 sejumlah lusinan penasihat dan wartawan Barat tiba di Indonesia, bersama-sama dengan para anggota Komisi Jasa-Jasa Baik PBB, yang menyebarkan seruan pembasmian kaum komunis, dan sejalan dengan itu mendesak para pengambil wewenang politik di Indonesia untuk segera mengambil tindakan. Dari bulan April 1948 dan seterusnya kampanye anti FDR yang luar biasa kasar dilancarkan oleh koran-koran Masyumi dan GRR (Gerakan Rakyat Revolusioner), suatu organisasi berkecenderungan teroris yang tumbuh dari tubuh Persatuan Perjuangan. Saat inilah ketika Amir mulai ditetapkan sebagai pengkhianat par excellence, yang pada masa kanak-kanaknya mengkhianati Islam untuk masuk Kristen agama penjajah, dan yang dalam masa mudanya meninggalkan nasionalisme untuk bekerjasama dengan Van Mook. Saat inilah juga ketika Amir, melihat Mao Ze-dong di Cina hampir memperoleh kemenangan dan Vietnam masih terus dalam perlawanan (yang di Indonesia, setelah perjanjian Fontainebleau, dikecam luas), mulai berpikir tentang kemungkinan menempuh jalan perjuangan lain. Untuk itu, is berpikir, kiranya akan lebih baik jika ia pun ikut melibatkan diri di dalam pemerintahan dan negerinya.